Indonesia
merupakan sebuah negara yang terdapat di benua Asia yang terletak diantara dua
samudera dan benua yaitu samudra Atlantik dan samudra Hindia, benua Asia dan
Benua Australia. Negara yang terdiri dari pulau-pulau yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke dari Sumatera sampai Papua.
Pulau-pulau yang tersebar kurang lebih 17.504 yang terdapat di
Indonesia. Dengan berbagai suku yang berbeda di setiap daerah melahirkan
kebudayaan yang berbeda diantara daerah-daerah tersebut. Inilah kekayaan yang
dimiliki Indonesia keberagaman budaya atau multikultural.
Selain
multikultural Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dengan keadaan
bentang alam Indonesia yang mendukung. Dengan luasnya wilayah Indonesia dan
sumber daya alam yang melimpah semakin memperkaya negara ini. Dengan wilayah
yang tersebar dan kebudayaan yang beragam antar wilayah tetapi satu wilayah
dengan wilayah lain saling mempengaruhi. Salah satu suku yang mungkin sudah
lama tidak kita dengar yaitu suku rimba atau lebih dikenal dengan suku anak
dalam.
Di
masyarakat Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu tau Orang Rimba. Menurut
tradisi lisan orang suku Anak Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke
hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. dan suku anak
dalam kemudian dinamakan Moyang Segayo. Dalam kehidupan mereka memiliki sistem
kemasyarakatan, hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan
hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak yang
telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.
Anak Dalam berasal dari tiga
keturunan:
1.
Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten
Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko
Dalam
masyrakat suku anak dalam mereka mempunyai kepercayaan terhadap dewa atau
sering disebut dengan Polytheisme yaitu mereka mempercayai banyak dewa. Dan
mereka mengenal dewa mereka dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada dewa yang baik
adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya
adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka. Dengan melihat kepercayaan mereka terhadap roh
nenek moyang itu masih bisa membuktikan bahwa mereka masih primitif dalam
masalah kepercayaan atau agama. Mereka masih menjalankan ritual-ritual untuk
menyembah tuhannya atau dewa-dewa selain dewa mereka masih menjalankan ritual
untuk para roh yang dipercaya masih ada disekitar mereka.
Selain
kepercayaan mereka yang masih menyembah dewa bahkan roh nenek moyang. Mereka
menempati rata-rata bertempat tinggal di Hutan dan di pinggiran sungai yang
terdapat diantara Jambi dan Sumatra selatan. Karena mereka merasa nyaman dengan
bertempat tinggal dengan lingkungan yang bersahabat dengan alam yang masih asli
atau asri. Lingkungan hutan dengan pohon-pohon besar menjadi tempat bermain
anak-anak suku dalam. Mereka merasa senang dengan permainan yang mereka lakukan
walaupun itu bukan permainan modern yang banyak beredar di masyarakat
akhir-akhir ini. Mereka menerima keadaan
dengan senang dan bahagia, mereka tidak pernah berpikir untuk merasakan
kehidupan masyarakat pada umumnya.
Taman
Nasional Bukit Duabelas merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran
rendah di Provinsi Jambi. Semula kawasan ini merupakan kawasan hutan produksi
tetap, hutan produksi terbatas dan areal penggunaan lain yang digabung menjadi
taman nasional. Hutan alam yang masih ada terletak di bagian Utara taman
nasional ini, sedangkan yang lainnya merupakan hutan sekunder.
Masyarakat
asli suku Anak Dalam (Orang Rimba) telah mendiami hutan Taman Nasional Bukit
Duabelas selama puluhan tahun. Suku Anak Dalam menyebut hutan yang ada di Taman
Nasional Bukit Duabelas sebagai daerah pengembaraan; dimana mereka berinteraksi
dengan alam sekitar untuk selalu menjaga keaslian hutan itu. selain itu mereka
merasa saling membutuhkan antara hutan dan manusia yaitu saling memberikan
kebutuhan mereka masing-masing. Suku anak dalam memelihara hutan itu karena
mereka berpikiran bahwa mereka saling member kehidupan sehingga hutan harus
selalu dipelihara agar mereka bisa hidup.
Untuk
memenuhi keberlangsungan hidupnya mereka memakan makanan yang sudah tersedia di
alam. Walaupun mereka sudah berladang hanya makanan ubi-ubi yang mereka
konsumsi. Alam merupakan teman mereka baik untuk mencukupi kehidupan
konsumsinya sehari-hari dan menjadi tempat berlindung mereka dalam menjalankan
hari demi hari. Selain memanfaatkan
tumbuhan yang ada disekitar hutan tempat mereka tinggal, ada cara lain untuk
mereka mendapatkan makanan yaitu dengan berburu.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, Berburu adalah satu cara mereka untuk mencari
makanan untuk bisa makan, berburu binatang di hutan sangat menyenangkan bagi
mereka. Walaupun menyenangkan namun juga bisa berbahaya bila tidak berhati-hati.
Berburu memberikan makanan yang lain selain memakan-makanan sayuran atau
tumbuhan-tumbuhan yang sering dimakan. Dengan berburu memberikan
nutrisi-nitrisi yang dibutuhkan tubuh. Supaya mereka memiliki tubuh yang sehat
dan tidak kekurangan nutrisi. Mereka berburu babi untuk mereka makan. Hasil
berburu mereka bakar dengan cara itu mereka memasak babi.
Selain
berburu mereka juga mencari ikan, dengan keadaan lingkungan disekitar mereka
adalah sungai mempermudah mereka untuk mendapatkan ikan. Mereka menangkap ikan
dengan menombak kearah ikan yang ada di sungai. Selain itu mereka juga mencari
madu untuk dikonsumsi dan bisa dijual ke masyarakat. Suku anak dalam melakukan
pekerjaan menyadap karet utuk dijual. Mereka memanfaatkan alam untuk memenuhi
kehidupan makan sehari-hari dan perekonomian mereka.
Walaupun
mereka anak suku dalam atau masyrakat yang tinggal di hutan tapi untuk urusan
pendidikan mereka sangat antusias untuk mengikutinya. Bahakan mereka sangat
bersemangat dalam untuk mengikuti proses belajar di sekolah, walaupun lokasinya
lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Rasa semangat anak-anak bersekolah
menular kepada orang tua atau dewasa ikut bersemangat untuk mengikuti sekolah.
Karena mereka berpikir bahwa dengan bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah
untuk dibodohi atau dibohongi oleh orang luar.
Untuk
itu, suku anak dalam mempunyai ciri khas demi menjaga kelestarian hutan atau
taman nasional bukit dua belas yang menjadi tempat tinggal mereka dengan pola
Homopongan. Homopongan yakni menetapkan
satu kawasan terluar hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas untuk jadi kawasan
mencari nafkah dan kehidupan bagi para orang rimba, selain itu untuk menjadi
pagar atau penyangga bagi keberadaan Taman Nasional Bukit Dua Belas.
Dengan
adanya Hompongan kelompok suku anak dalam
taat pada adat dan hukum , jadi menjaga Taman Nasional Bukit Dua Belas
dari orang-orang yang berniat jahat seperti merambah hutan atau mencuri kayu,
kita akan mencegah mereka di gerbang perbatasan. Pola Hompongan itu sendiri,
pada awalnya hanyalah salah satu cara
bagi suku anak dalam untuk membatasi aktivitas ’Melangun’ atau nomaden
berladang berpindah-pindah yang bisa merusak banyak kawasan hutan.
Dengan Hompongan mereka membatasi
sendiri ruang geraknya untuk melakukan nomaden, kini suku anak dalam mencari
hidup hanya dari kawasan Hompongan, mereka bermukim di hompongan. Jika saat ada
orang dari luar yang masuk tanpa izin sudah pasti akan tertahan di Hompongan
yang selanjutnya mereka harus menjalani proses interogasi sesuai peraturan adat
suku anak dalam.
Sehingga sekarang dalam
masyarakat suku anak dalam sudah mengalami perubahan, dalam mata pencaharian
mereka sudah tidak berpindah-pindah lagi mencari lahan untuk di Tanami. Namun dengan perkembangan
pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya
akulturasi atau banyaknya interaksi dengan masyarakat luar sehingga mereka
telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan. Sehingga mempermudah
mereka dalam proses penanaman yang tidak harus berpindah-pindah lagi.
Kini
masyarakat suku anak dalam dikategorikan ke dalam tiga kelompok pemukiman.
Pertama yang bermukim di dalam hutan dan mereka hidup berpindah-pindah. Kedua,
kelompok yang hidup di dalam hutan tetapi mereka menetap dan sudah berladang. Dan
yang ketiga adalah suku anak dalam yang pemukimnya berdekatan atau bergandengan
dengan pemukiman orang luar (yaitu masyarakat biasa pada umumnya).
Sehingga
dalam cara berpakaian suku anak dalam memiliki perbedaan atau bervariasi, yaitu: (1) bagi yang tinggal di
hutan dan berpindah-pindah pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi
bagian tertentu saja atau yang dianggap perlu untuk ditutupi. (2) mereka
tinggal di hutan tetapi hidup menetap, di samping berpakaian sesuai dengan
tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti
baju, sarung atau celana, (3) yang tinggal berdekatan dengan pemukiman
masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun
kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah
pemukimannya.
Dengan
adanya perubahan yang terjadi dalam masyrakat suku anak dalam, memberikan
cerminan bahwa anak dalam tidak semua primitif tetapi sudah ada yang berpikiran
ke depan atau maju. Bagi suku anak dalam yang berdekatan dengan orang luar
tidak meenimbulkan konflik, karena masyarakat luar bisa menerima keadaan mereka.
Dan anak dalam juga sudah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan
tempat tinggal mere yang baru. Walaupun pada awalnya ada kendala yang harus
dihadapi mereka untuk menyesuaikan diri. Tapi mereka dapat melewati itu semua
dan bisa hidup berdampingan demgan masyarakat luar yang baru bagi mereka.
Namun,
dengan keadaan mereka yang sudah damai harus tergores dengan berita bahwa tanah
yang selama ini ditempati oleh mereka dipermasalahkan. Permasalahan lahan atau
tanah yang bermasalah antara Suku Anak Dalam dan sebuah perusahaan
kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit yaitu PT. Asiatic Persada (Wilmar Group)
telah melakukan ketidakadilan kepada orang-orang anak dalam. Mereka mengambil
lahan masyarakat suku anak dalam untuk ditanami sawit.
Mereka melakukan penggusuran
terhadap rumah-rumah anak dalam, menurut Mawardi, Ketua Komite Pimpinan Wilayah
Partai Rakyat Demokratik (PRD) Jambi, “Tidak hanya tiga dusun tua, tanah ladang
mereka juga ikut digusur untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh PT.
Asiatic Persada.”
Mereka melakukan penggusuran
tanpa melihat masyarakat yang ada di daerah yang akan digusur. Dengan banyaknya
anak dalam yang tersakiti karena kekerasan yang terjadi menimbulkan konflik
baru di masyrakat anak dalam. Mereka tidak akan menerima keadaan itu, karena
mereka merasa bahwa itu lahan atau tanah itu milik mereka. Yang sudah menjadi
bagian hidup mereka dari dulu. Penggusuran yang dilakukan perusahaan tidak
memperhitungkan dampak yang akan di alami masyarakat anak dalam, bukan hanya
masyarakat tapi lingkungan akan mendapatkan dampaknya secara langsung.
Mungkin ini ketidaktegasan dari
Pemerintah daerah tersebut untuk menjaga masyarakat anak dalam dari orang-orang
yang berniat menghancurkan kehidupan mereka. Dan hutan yang ditepati oleh anak
dalam merupakan Taman Nasional Bukit Dua Belas yang seharusnya dilindungi dan
tidak dirusak oleh oknum-oknum yang hanya mencari kekayaan semata. Untuk itu,
Pemerintah Jambi harus tegas dalam memberikan ijin perusahaan jangan sampai
lingkungan atau alam yang akan menjadi korban dari segala keganasaan manusia
yang hanya menginginkan uang.
Permasalahan ini menimbulkan reaksi
dari aktivis Walhi Deddy Ratih, mengatakan, “kedatangan mereka untuk menuntut
pertanggungjawaban PT Asiatic Persada (Wilmar Group) atas penggusuran dan
kekerasan terhadap suku Anak Dalam.” Selain itu beliau menambahkan tindakan
Wilmar Group merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serius karena secara
sistematis telah melakukan perampasan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat
lokal.
Ini menunjukan bahwa Wilmar
Group sudah melakukan pelanggaran besar terhadap masyarakat anak dalam. Karena
mereka telah menyebabkan kehilangannya tempat tinggal dan lapangan pekerjaan
yang seharusnya bisa mereka lakukan sehari-hari. Perusahaan telah merebut
kebeasan diri dan hak mereka untuk menjalankan kehidupan. setuju dengan
perkataan aktivis Walhi, bahwa perusahaan telah melanggar hak asasi manusia
terhadap masyarakat anak dalam. Selain itu menurut saya, mereka sudah merusak
lingkungan tempat tinggal dan alam yang sudah dijaga atau dipelihara oleh anak
dalam secara baik namun dengan waktu sesaat telah hancur karena perusahaan yang
mencari keuntungan.
Sekarang suku anak dalam sedang
berusaha agar Pemerintah Pusat bisa membantu mereka dari penindasan yang telah
dilakukan oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Mereka sedang
membutuhkan bantuan Pemerintah untuk membantu mereka keluar dari masalah yang
sedang dihadapi. Mereka hanya meminta keadilan karena mereka hanya menginginkan
tempat yang dulu mereka punya bisa kembali dan mereka bisa hidup normal. Tanpa
ada gangguan dari pihak manapun, karena suku anak dalam merupakan penjaga hutan
agar tetap seimbang keberadaanya.
Terima kasih
septy ^-^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar